MAKALAH BILINGUALISME DAN DIAGLOSIA KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, manusia memiliki alat komunikasi dan interaksi yaitu sebuah bahasa. Sebenarnya manusia juga dapat menggunakan alat komunikasi lain selain bahasa. Namun, tampaknya bahasa merupakan alat komunikasi yang paling baik, paling sempurna dibandingkan dengan alat komunikasi lain, seperti alat komunikasi yang dipakai hewan. Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, maupun emosi secara langsung agar terjadi interaksi yang baik antar masyarakat.
Masyarakat yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau karena sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, maka masyarakat tutur ini akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai hubungan dengan masyrakat tutur lain tentu akan mengalami apa yang disebut kontak bahasa dengan segala peristiwa-peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa-peristiwa kebahasaan yang mungkin terjadi sebagai akibat adanya kontak bahasa adalah apa yang di dalam sosiolingistik disebut bilingualisme dan diglosia.
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ragam bahasa yang sangat banyak. Sehingga menyebabkan banyaknya suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki bahasa yang berbeda-beda, inilah yang memungkinkan masyarakat
Indonesia memiliki dan menggunakan lebih dari satu bahasa. Penggunaan lebih dari satu bahasa ini disebut dengan bilingualisme dan pengguna bahasa lebih dari satu bahasa disebut bilingual. Meskipun demikian, Indonesia hanya memiliki satu bahasa yang kemudian dijadikan bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia.
Dalam makalah ini, akan dibicarakan tentang bilingualisme dan diglosia, serta hubungan atau kaitan antara keduanya.
B. Rumusan Masalah
Pada pembahasan di atas dapat diidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi dari bilingualisme?
2. Bagaimana definisi dari diglosia?
3. Bagaimana hubungan dari bilingualisme dan diglosia?
C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas dapat diambil tujuan masalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian dari bilingualisme.
2. Untuk mengetahui pengertian dari diglosia.
3. Untuk mengetahui hubungan dari bilingualisme dan diglossia
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Sosiolingusitik
Sosiolinguistik terdiri dari dua kata, yaitu sosiologi dan linguistik. Sosiologi adalah kajian yang objektif dan ilmiah mengenai manusia di dalam masyarakat, mengenai Lembaga lembaga, dan proses sosial yang ada di dalam masyarakat. Sosiologi berusaha mengetahui bagaimana masyarakat itu terjadi, berlagsung dan tetap ada. Sedangkan linguistik adalah bidang ilmu yang mempelajari bahasa, atau bidang ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya. Secara umum sosiolinguistik dikenal sebagai bidang ilmu yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan di dalam masyarakat.
Berikut definisi sosiolinguistik menurut para ahli :
· Harimurti Kridalaksana (1978:94) menjelaskan sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dari berbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara para bahawasawan dengan variasi bahasa tersebut di dalam suatu masyarakat.
· Djoko Kentjono (1990:14) menjelaskan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat; ilmu gabungan sosiologi dengan linguistik.
· Sumarsono (2004) menjelaskan sosio adalah masyarakat, linguistik adalah kajian bahasa. Jadi, sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.
Dari definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang berhubungan dengan ilmu sosiologi, serta objek kajiannya yang membahas hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
B. Bilingualisme
Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain, entah karena letaknya yang jauh terpencil atau sengaja tidak mau berhubungan dengan masyarakat lain, maka masyarakat tersebut akan tetap menjadi masyarakat yang statis dan monolingual. Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, artinya yang mempunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain, tentu akan mengalami apa yang dinamakan kontak bahasa dengan segala peristiwa kebahasaan sebagai akibatnya. Peristiwa yang dapat terjadi sebagai akibat dari kontak bahasa dalam sosiolinguistik salah satunya adalah bilingualisme.
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harafiah, bilingualisme berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa tersebut, yang pertama adalah Bahasa ibunya sendiri (disingkat B1) dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan).
Definisi bilingualisme menurut para ahli :
- Bloomfield (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampun seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Menurutnya seseorang disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya.
- Mackey (1962:12) megatakan bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa lain, oleh seorang penutur. Situasi dan kondisi yang dihadapi dwibahasawan turut menentukan pergantian bahasa-bahasa yang dipakai.
- Fishman (1975:73) mengatakan bahwa bilingualisme secara sosiolinguistik diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Namun, melihat definisi Bloomfield yang mengatakan bahwa bilingualism merupakan penggunaan dua bahasa dengan sama baiknya, banyak memunculkan pertanyaan sehingga dimodifikasi melalui pendapat oleh beberapa pakar lain, seperti :
- Robert Lado (1964:214) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatannya. Menurut Lado, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya; kurang pun boleh.
- Macnamara (1967) mengatakan bahwa bilingualisme mengacu pada kemampuan yang dimiliki seorang penutur dalam menggunakan B1 dan B2nya, meskipun kemampuan dalam B2 hanya sampai batas minimal. Ini artinya bahwa seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif produktif, melainkan cukup apabila ia memiliki kemampuan untuk memahami B2 nya.
Melihat pengertian bilingualisme yang telah dipaparkan di atas, walau ada perbedaan pendapat, dapat ditarik kesimpulan bahwa penjelasan para ahli merujuk ke inti yang sama, yaitu bilingualisme merupakan penggunaan lebih dari satu bahasa yang dilakukan oleh seorang penutur di dalam suatu masyarakat bagaimanapun tingkatannya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pengertian Metode Penelitian
Metode adalah bagian dari penelitian yang menjelaskan tentang cara-cara untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan baik. Sugiyono (2017 : 2) mengemukakan bahwa “Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”. Metode deskriptif adalah metode yang akan digunakan pada penelitian ini.
B. Metode Deskriptif
Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subjek atau objek dalam penelitian dapat berupa orang, lembaga, masyarakat dan yang lainnya yang pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau apa adanya.
Menurut Nazir (1988: 63) dalam Buku Contoh Metode Penelitian, metode deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
Secara singkat dapat diketahui terdapat beberapa langkah-langkah dalama metode penelitian deskriptif, yakni 1) Mengidentifikasi adanya permasalahan yang signifikan untuk dipecahkan melalui metode deskriptif; 2) Membatasi dan merumuskan permasalahan secara jelas; 3) Menentukan tujuan dan manfaat penelitian; 4) melakukan studi pustaka yang berkaitan dengan permasalahan; 5) menentukan kerangka berfikir dan pertanyaan penelitian dan atau hipotesis penelitian; 6) mendesain metode penelitian yang hendak digunakan termasuk menentukan populasi, sampel, teknik sampling, instrument pengumpulan data, dan menganalisis data; 7) mengumpulkan, mengorganisasi, dan menganalisis data dengan menggunakan teknik statistik yang relevan; dan 8) membuat laporan penelitian.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bilingualisme
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, bilingual diartikan sebagai pengguanaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1992:12, Fishman 1997:73). Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa itu disebut orang yang bilingual (dalam bahasa Indonesia disebut juga dwibahasawan). Sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut bilingualitas (dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasawanan).
Konsep umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seseorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian telah menimbulkan sejumlah masalah yang biasa dibahas kalau orang membicarakan bilingualisme. Masalah-masalah itu adalah (Dittmer 1976:170):
1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?
2. Apa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini? Apakah bahasa dalam pengertian langue, atau sebuah kode, sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek.
3. Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1-nya, dan kapan pula harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia dapat secara bebas untuk dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya?
4. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya?
5. Apakah bilingualisme itu berlaku pada perseorangan (seperti disebut dalam konsep umum) atau juga berlaku pada satu kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, “Sejauh mana penguasaan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik karena merupakan bahasa ibu) sehingga ia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual?”
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal Language (1933:56) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya. Jadi, seseorang dapat disebut bilingual apabila dapat menggunakan B1 dan b2 dengan derajat yang sama baiknya. Robert Lado (1964:214) mengatakan, bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknik mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimanapun tingkatnya. Jadi, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baiknya, kurang pun boleh. Menurut Haugen (1961) tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Menurut Haugen selanjutnya, seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Haugen juga mengatakan, mempelajari bahasa kedua, apalagi bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya. Lagi pula seseorang yang mempelajari bahasa asing, maka kemampuan bahasa asingnya atau B2-nya akan selalu berada pada posisi di bawah penutur asli bahasa itu.
Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan sebagai jawaban terhadap pertanyaan pertama bahwa pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentengan berjanjang mulai menguasai B1 (tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingual sudah sampai tahap ini, maka berarti seorang yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan di mana saja.
Pertanyaan kedua, “Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme. Apakah bahasa itu sama dengan langue, atau bagaimana?” Bloomfield (1933) mengatakan, bahwa menguasai dua buah bahasa, berarti menguasai dua buah sistem kode. Kalau yang dimaksud oleh Bloomfield bahwa bahasa itu adalah kode, maka berarti bahasa itu bukan langue, malainkan parole, yang berupa berbagai dialek dan ragam. Menurut Mackey (1962:12), bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Untuk pengguanan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa itu dengan tingkat yang sama. Jadi, jelas yang dimaksud dengan bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Tetapi pakar lain, Weinrich (1968:12) memberi pengertian bahasa dalam arti luas, yakni tanpa membedakaan tingkatan-tingkatan yang ada di dalamnya. Bagi Weinrich menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Haugen (1968:10) yang memasukan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme. Demikian juga pendapat Rene Appel (1976:176) yang mengatakan bahwa apa yang dimaksud dua bahasa dalam bilingualisme adalah termasuk juga dua variasi bahasa.
Dari pembicaraan di atas dapat dilihat bahwa yang dimaksud dengan bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa. Kalau yang dimaksud dengan bahasa adalah dialek juga, maka hampir semua anggota masyarakat Indonesia adalah bilingual, kecuali anggota masyarakat tutur yang jumlah anggotanya sedikit, letaknya terpencil, dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasa itu.
Pertanyaan ketiga, “Kapan seorang bilingual mengguankan kedua bahasa yang dikuasai secara bergantian? Kapan harus menggunakan B1-nya, kapan pula harus menggunakan B2-nya dan kapan pula dia dapat secara bebas dapat memilih untuk menggunakan B1-nya atau B2-nya?”
Mengenai pertanyaan ketiga, kapan B1 harus digunakan dan kapan B2 harus dipakai. Pertanyaan ini menyangkut masalah pokok sosiolinguistik, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan dan dengan tujuan apa”. B1 pertama-tama dan terutama dapat digunakaan dengan para anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dengan penutur. Penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas. Masalah ketiga, kapan seorang penutur bilingual dapat secara bebas menggunakan B1 atau B2 adalah agak sukar dijawab. Dalam catatan sosiolinguistik hanya didapati adanya satu masyarakat tutur bilingual yang dapat secara bebas menggunakan salah satu bahasa yang terdapat dalam masyarakat tutur itu, yaitu di Monteral, Kanada.
Pertanyaan keempat, “sejauhmana B1 seorang penutur bilingual dapat mempengaruhi B2-nya, atau sebaliknya, B2-nya dapat mempengaruhi B1-nya.”
Pertanyaan ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa itu, dan kesempatan untuk menggunakannya. Penguasaan B1 oleh seorang bilingual adalah lebih baik daripada penguasaannya terhadap B2, sebab B1 adalah bahasa ibu, yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga, sedangkan B2 adalah bahasa yang baru kemudian dipelajari, yakni setelah menguasai B1. Dalam keadaan penguasaan terhadap B1 lebih baik dari pada B2, dan juga kesempatan untuk mengguankannya lebih luas, maka ada kemungkinan B1 si penutur akan mempengaruhi B2-nya. Seberapa jauh pengaruh B1 terhadap B2 adalah tergantung pada tingkat penguasaannya terhadap B2. Kekurang fasihan seorang penutur bilingual terhadap B2, sehingga B2-nya sering dipengaruhi oleh B1-nya lazim terjadi pada para penutur yang sedang dipelajari B2 itu (Nababan, 1984:32).
Mungkinkah B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1-nya? kemungkinan itu akan ada kalau si penutur biligual itu dalam jangka watu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya, tetapi terus menerus mengguanakn B2-nya.
Pertanyaan kelima, “apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok penutur atau yang lazim disebut satu masyarakat tutur?”
Pertanyaan ini menyangkut hakikat bahasa dalam kaitanya dengan menggunakannya dalam masyarakat tutur biligual. Mackey (1968:554-555) berpendapat bahwa bilingualisme bukan gajala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang diguanakan penutur biligual secara berganti-ganti. Bilingualisme juga bukan ciri kode, melainkan ciri ekspresi atau pengungkapan seorang penutur. Begitupun bukan bagian dari langue, melainkan bagian dari parole. Mackey juga mengungkapkan kalau bahasa itu memiliki kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik individu-individu para penutur, sebab pengguaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda. Menurut Oksaar (1972:478), bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Sebab bahasa itu pengguaannya tidak terbatas antara individu dan individu saja, melainkan juga digunakan sebagai alat komunikasi antar kelompok.
Chaer (1994) mengatakan, bahasa itu bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan sebagai alat untuk menunjukan identitas kelompok. Konsep bahwa bahasa merupakan identitas kelompok memeberi peluang untuk menyatakan adanya sebuah masyarakat tutur yang bilingual, yang menggunakan dua buah bahasa sebagai alat komunikasinya. Masyarakat tutur yang demikian tidak hanya terbatas pada sekelompok orang, malah bisa juga meluas meliputi wilayah yang sangat luas, mungkin juga meliputi satu negara. Seperti dikatakan Wolf (1974:5) salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa atau lebih oleh seorang atau sekelompok orang dengan tidak adanya peranan tertentu dari kedua bahasa itu. Artinya, kedua bahasa itu dapat diguanakan kapada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus diguanakan tergantung pada kemampuan si pembicara dan lawan bicaranya.
Keadaan di dalam masyarakat di mana adanya pembedaan pengguaan bahasa berdasarkan fungsi atau peranaanya masing-masing menurut konteks sosialnya, didalam sosiolinguistik dikenal dengan sebutan diglosia.
B. Diglosia
Kata diglosia berasal dari bahasa Prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang linguis Prancis. Tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah digunakan oleh seorang sarjana dari Stanford University, yaitu C.A.Ferguson tahun 1958 dalam suatu simposium tenteng “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washignton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi dengan sebuah artikelnya yang berjudul “Diglosia” yang dimuat dalam majalah Word tahun 1959. Artikel Ferguson itu dipandang sebagai referensi klasik mengenai diglosia.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat dimana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Definisi diglosia menurut Ferguson adalah:
1. Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga sebuah ragam lain.
2. Dialek-dialek utama itu di antaranya, bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional.
3. Ragam lain itu memiliki ciri:
· Sudah terkodifikasi
· Gramatikalnya lebih kompleks
· Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
· Dipelajari melalui pendidikan formal
· Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
· Tidak digunaakan dalam percakapan sehari-hari
Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetengahkan sembilan topik, yaitu:
1. Fungsi, merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa: variasi pertama disebut dialek tinggi (T), dan yang kedua disebut dialek rendah (R).
2. Prestise, dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malah ada yang menolak keberadaannya.
3. Warisan Kesusastraan, pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut.
4. Pemerolehan, ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5. Standardisasi, karena ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kondifikasi formal.
6. Stabilitas, kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7. Gramatika, Ferguson berpandangan bahwa ragam T dan ragam R dalam diglosia merupakan bentuk-bentuk dari bahasa yang sama. Namun, di dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan.
8. Leksikon, sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya, ada kosakata ragam R yang tidak ada pasangannya pada ragam T.
9. Fonologi, dalam bidang bidang fonologi ada perbedaan struktur antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pada bagian akhir dari artikel Ferguson menyatakan bahwa suatu masyarakat digllosis bisa bertahan dalam waktu yang cukup lama meskipun terdapat “tekanan-tekanan” yang dapat melunturkannya. Tekanan itu antara lain, (1) meningkatkan kemampuan keaksaraan dan meluasnya komunikasi verbal pada satu negara; (2) meningkatnya penggunaan bahasa tulis; (3) perkembangan nasionalisme dengan keinginan adanya sebuah bahasa nasional sebagai lambang kenasionalan suatu bangsa.
Juga dipersoalkan, ragam mana yang akan dipilih menjadi bahasa nasional, ragam T atau ragam R. Dalam hal ini ada dua kemungkinan. Pertama, ragam R dapat menjadi bahasa nasional karena ragam itulah yang dipakai dalam masyarakat. Kedua, ragam T yang akan menjadi bahasa nasional atau bahasa standar, asal saja (1) ragam T itu sudah menjadi bahasa standar pada sebagian masyarakat, (2) apabila masyarakat diglosis itu menyatu dengan masyarakat lain.
C. Kaitan Bilingualisme dan Diglosia
Diglosia diartikan sebagai adanya pembedaan fungsi atas penggunaan bahasa dan bilingualisme adalah keadaan penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam masyarakat, maka Fishman (1977) menggambarkan hubungan diglosia dan bilingualisme itu menjadi empat jenis, (1) bilingualisme dan diglosia, (2) bilingualisme tanpa diglosia, (3) diglosia tanpa bilingualisme, (4) tidak bilingualisme dan tidak diglosia.
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua yaitu, (1) diglosia dan bilingualisme, (2) diglosia tanpa bilingualisme. Keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaanya adalah terletak pada bilingualismenya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bilingualisme atau kedwibahasaan yakni berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara umum dalam sosiolinguistik, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Diglosia berasal dari bahasa Prancis, diglossie. Diglosia digunakan untuk menyatakan suatu masyarakat yang di sana terdapat dua variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranaan tertentu.
B. Saran
Dengan membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat mengambil hikmah sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan kiranya jika terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk perjalanan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Link:
DOWNLOAD
makalah.doc - google drive - 349kb
0 Response to "MAKALAH BILINGUALISME DAN DIAGLOSIA KAJIAN SOSIOLINGUISTIK"
Post a Comment